Kontes Kecantikan

Sebuah perusahaan produk kecantikan berhasil meminta orang-orang di sebuah kota besar untuk mengirimkan foto dan surat singkat tentang wanita tercantik yang mereka kenal. Dalam jangka waktu beberapa minggu saja, ribuan surat dikirimkan ke perusahaan itu.

Salah satu surat secara khusus menarik perhatian pegawai perusahaan itu, yang dengan segera menyerahkannya kepada presiden direktur perusahaan itu. Surat itu ditulis oleh seorang anak muda yang jelas berasal dari keluarga yang berantakan dan tinggal di suatu kawasan kumuh. Dengan banyak koreksi ejaan, sebuah petikan dari suratnya berbunyi demikian, “Seorang wanita cantik tinggal di seberang jalan rumah saya. Saya mengunjunginya setiap hari. Ia membuat saya merasa bagaikan seorang anak yang paling berharga di dunia ini. Kami bermain halma berdua dan ia mendengarkan masalah saya. Ia memahami saya dan setiap kali saya meninggalkan rumahnya ia selalu berteriak sampai terdengar ke luar pintu bahwa ia bangga terhadap saya.”

Anak itu mengakhiri suratnya dengan berkata, “Foto ini akan menunjukkan kepada Anda bahwa ia adalah wanita tercantik. Semoga saya mempunyai istri secantik dia.”

Karena penasaran, sang presiden direktur ingin melihat foto wanita itu. Sang sekretaris mengulurkan foto seorang wanita yang semua giginya sudah ompong. Ia sedang tersenyum. Usianya cukup tua, dan ia sedang duduk di kursi roda. Rambut abu-abunya yang sudah jarang ditarik ke belakang, membentuk semacam sanggul. Alur-alur keriput di wajahnya entah bagaimana tersamarkan oleh sinar di matanya.

“Kita tak dapat memakai wanita ini,” sang presiden direktur menjelaskan, sambil tersenyum.” Ia justru akan menunjukkan kepada dunia bahwa produk kita tidak diperlukan agar seorang wanita bisa menjadi cantik.”

by: Carla Muir

Puji-pujian Untuk Isteri yang Cakap

Isteri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata.

Hati suaminya percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan.

Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya.

Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya.

Ia serupa kapal-kapal saudagar, dari jauh ia mendatangkan makanannya.

Ia bangun kalau masih malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya, dan membagi-bagikan tugas kepada pelayan-pelayannya perempuan.

Ia membeli sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur ditanaminya.

Ia mengikat pinggangnya dengan kekuatan, ia menguatkan lengannya.

Ia tahu bahwa pendapatannya menguntungkan, pada malam hari pelitanya tidak padam.

Tangannya ditaruhnya pada jentera, jari-jarinya memegang pemintal.

Ia memberikan tangannya kepada yang tertindas, mengulurkan tangannya kepada yang miskin.

Ia tidak takut kepada salju untuk seisi rumahnya, karena seluruh isi rumahnya berpakaian rangkap.

Ia membuat bagi dirinya permadani, lenan halus dan kain ungu pakaiannya.

Suaminya dikenal di pintu gerbang, kalau ia duduk bersama-sama para tua-tua negeri.

Ia membuat pakaian dari lenan, dan menjualnya, ia menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang.

Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan, ia tertawa tentang hari depan.

Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.

Ia mengawasi segala perbuatan rumah tangganya, makanan kemalasan tidak dimakannya.

Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia:

Banyak wanita telah berbuat baik, tetapi kau melebihi mereka semua.

Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.

Berilah kepadanya bagian dari hasil tangannya, biarlah perbuatannya memuji dia di pintu-pintu gerbang!

Apakah Tuhan Itu Ada

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?

Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya.”

“Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi.

“Ya, Pak, semuanya,” kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”

“Tentu saja,” jawab si Profesor.

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”

“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460°F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?”

Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”

Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya diruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”

Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari, banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.”

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”

Profesor itu terdiam.

I’m a Big Girl, Dad…!!!

Saya adalah anak bungsu. Ayah saya adalah seorang pekerja tambang. Rambutnya sudah putih semua, tapi tubuhnya masih terlihat kuat dan gagah. Hatinya lembut dan sayang keluarga. Hampir tiap pagi jika tidak sedang tugas, dia selalu mengantar saya sekolah. Kami selalu berangkat dengan motor bututnya, motor kebanggaan yang selalu dicucinya tiap hari. Motor itu begitu bututnya, sampai kadang bunyi kelontangan saat berjalan. Karena itu kadang saya malu dan pengen agar tubuh saya menciut dan menghilang saja kala motor ayah saya masuk halaman sekolah.

Jarak rumah ke­sekolah sekitar satu jam. Dia sering memakaikan jaket tebal agar saya tidak kedinginan diterpa angin pagi. Dan setibanya di depan pagar sekolah dia selalu menurunkan saya dan menciumi pipi saya berkali-kali. Namun setelah beranjak remaja, saya mulai risih kala ayah mencium pipi saya. Apalagi di depan teman-teman. Saya kan udah umur 12 tahun? Masak diciumin terus seperti anak balita aja? Sebel banget deh. Maka saya putuskan bahwa saya bukan anak kecil dan tidak butuh kecupan di pipi lagi.

Suatu hari, seperti biasa, ayah saya mengantar sampai di depan gerbang sekolah, menurunkan saya, tersenyum lebar dengan senyum khasnya dan memiringkan badannya hendak mencium pipi saya. Tapi saya segera mengangkat tangan dan berkata, “Jangan ayah, aku malu!” itu pertama kalinya saya berkata begitu dan wajah ayah tampak begitu keheranan. Dengan sebal saya berkata, “Yah, aku kan sudah besar dan sudah terlalu tua untuk dicium-cium kayak anak balita.”

Ayah memandang saya beberapa saat, rasanya begitu lama ia memandang dan matanya mulai sedikit berkaca-kaca dan basah. Namun aku lihat dia berusaha menahan diri. “Ok deh, kamu sudah gadis remaja sekarang. Ayah tak perlu menciummu lagi.” dia berbalik menuju motor bututnya dan melambaikan tangannya pamit pergi. Tak lama sesudah itu, ia ditugaskan ke Aceh dan ia hilang dan tak pernah kembali lagi. 26 Desember 2004 badai Tsunami meluluhlantahkan Meulaboh-Aceh dan menghancurkan pos tambang tempat dimana ayah saya ditugaskan.

Anda semua takkan bisa bayangkan apa yang akan saya korbankan sekedar untuk mendapatkan lagi ciuman sayang darinya. Untuk merasakan wajah tua dan kumisnya yang kasar. Mencium bau tubuhnya yang khas. Dan untuk merasakan lengannya yang kuat merangkul pundakku, mengacak-acak rambutku atau menggendong badanku.

Seandainya bisa, aku ingin ucapkan padanya, “Ayah, aku sudah dewasa, tapi aku tak pernah terlalu tua untuk mendapat ciuman darimu. I’m a big girl dad, but I never too old for your kiss.”

Sumber: http://renungan-harian-kita.blogspot.com

Tuhan Tahu

Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia, Tuhan tahu betapa keras engkau sudah berusaha.

Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih, Tuhan sudah menghitung air matamu.

Jika kau pikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu, dan waktu serasa berlalu dan teman-temanmu terlalu sibuk untuk menelepon, Tuhan selalu berada di sampingmu.

Ketika kau pikir bahwa kau sudah mencoba segalanya dan tidak tahu hendak berbuat apa lagi, Tuhan punya jawabannya.

Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan, Tuhan dapat menenangkanmu.

Jika tiba-tiba kau dapat melihat jejak-jejak harapan, Tuhan sedang berbisik kepadamu.

Ketika segala sesuatu berjalan lancar dan kau merasa ingin mengucap syukur, Tuhan telah memberkatimu.

Ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban, Tuhan telah tersenyum padamu.

Ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi, Tuhan sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu.

Ingat bahwa di manapun kau atau kemanapun kau menghadap TUHAN TAHU.

Istana Pasir

Terik matahari. Udara pantai. Gelombang laut yang berirama. Seorang anak kecil sedang berlutut di tepi pantai. Dengan sekop plastik ia mengisi embernya yang berwarna merah cerah dengan pasir. Kemudian ia membalikkan ember itu di pantai dan mengangkatnya. Dan, oleh keceriaan sang arsitek cilik, sebuah menara pun tercipta.

Ia bekerja sepanjang sore. Menggali parit di sekelilingnya. Membentuk dinding-dindingnya. Tutup-tutup botol menjadi prajurit-prajuritnya. Stik-stik es krim menjadi jembatannya. Sebuah istana pasir pun berdiri.

Kota besar. Jalanan yang sibuk. Lalu-lintas yang ramai.

Seorang pria sedang berada di kantornya. Di mejanya ia menumpuk kertas-kertas serta mendelegasikan tugas. Ia mengepit gagang telepon dengan bahunya sambil mengetik. Angka-angka ditekan dan kontrak ditandatangani. Dan, oleh keceriaan sang pria, keuntungan diperoleh.

Ia bekerja seumur hidupnya. Menyusun rencana. Meramalkan masa depan. Profit menjadi prajurit-prajuritnya. Investasi menjadi jembatannya. Sebuah kekaisaran pun berdiri.

Dua orang membangun dua istana. Mereka memiliki banyak persamaan. Mereka membentuk butiran-butiran kecil menjadi bola-bola besar. Mereka menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Mereka rajin dan berpendirian teguh. Dan bagi mereka berdua, bila gelombang pasang bangkit, maka tibalah kesudahannya.

Hanya satu hal yang membedakan. Sang anak memang menantikan kesudahan itu tiba, sementara sang pria menolak untuk menghadapinya. Perhatikanlah sang anak saat senja mulai tiba.

Sementara gelombang pasang datang, sang anak yang bijaksana berdiri dan mulai bertepuk tangan. Tiada duka. Tiada ketakutan. Tiada penyesalan. Ia tahu hal ini akan terjadi. Ia tidak terkejut. Dan ketika penghancur besar itu memorak-porandakan istananya hingga karya besarnya tenggelam ke dalam laut, ia tersenyum. Ia membereskan peralatannya, mengandeng tangan ayahnya, dan pulang ke rumah.

Namun, sang pria dewasa tidak sedemikian bijaksana. Ketika gelombang waktu menimpa istananya, ia ketakutan. Ia berusaha keras melindungi monumen pasir itu. Ia menghadang gelombang yang datang agar tidak melanda dinding-dinding yang telah dibuatnya. Air laut merembes, dan sambil gemetar ia memaki gelombang pasang yang datang.

Ini istana saya,” ia ngotot.

Lautan tidak perlu menjawab. Kita semua tahu kepunyaan siapa pasir itu …

Saya tidak tahu banyak tentang istana pasir. Namun, anak-anak tahu. Belajarlah dari mereka. Maju dan bangunlah istana, dengan hati seorang anak. Ketika matahari terbenam dan gelombang pasang mengambilnya, bertepuk-tanganlah. Berilah salam kepada proses kehidupan, raihlah tangan Bapamu, dan pulanglah ke rumah.

by: Max Lucado

Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.

Hadiah Cinta

Beberapa waktu lalu, teman saya menghukum putrinya yang berusia tiga tahun karena memboroskan kertas pembungkus berwarna emas, padahal keuangan mereka sedang menipis. Teman saya itu marah saat putrinya mencoba menghias sebuah kotak untuk ditaruh di bawah Pohon Natal. Keesokan paginya gadis kecil itu membawa hadiah itu kepada ayahnya dan berkata, “Ini untuk Ayah.” Sang ayah merasa malu atas perlakuannya terhadap putrinya, namun amarahnya bangkit lagi saat mendapati kotak tersebut kosong.

Ia membentak putrinya, “Tidakkah kamu tahu bahwa kalau kamu memberi hadiah kepada seseorang, harus ada sesuatu di dalamnya?”

Gadis kecil itu memandang kepadanya sambil berlinang air mata dan berkata, “Oh, Ayah, kotak itu tidak kosong. Saya memasukkan ciuman-ciuman saya ke dalamnya. Saya mengisi penuh kotak itu dengan cinta. Semuanya untuk Ayah.”

Hati sang ayah pun hancur. Ia merangkul gadis kecilnya dan meminta maaf. Teman saya menceritakan bahwa sejak saat itu ia menyimpan kotak berhias kertas emas itu di samping tempat tidurnya selama bertahun-tahun. Kapan saja ia merasa tawar hati, ia mengambil sebuah ciuman dari dalamnya dan mengingat kasih seorang anak yang telah menaruhnya di sana.

Sesungguhnya, masing-masing kita sebagai orangtua telah memperoleh sebuah kotak emas yang berisi cinta sejati dan ciuman anak-anak kita. Tak ada yang lebih berharga dari itu.

by: James Dobson

Perumpamaan Sederhana bagi Para Ibu

Seorang ibu muda memulai perjalanan hidupnya. “Apakah jalannya jauh?” tanyanya. Pembimbingnya berkata, “Ya. Dan jalannya sulit. Kamu akan menjadi tua sebelum mencapai ujungnya. Tetapi, ujung jalan akan lebih baik daripada awalnya.”

Namun, si ibu muda merasa senang dan dia tidak percaya bahwa ada saat yang lebih baik dari tahun-tahun ini. Dia bermain dengan anak-anaknya, mengumpulkan bunga untuk mereka sepanjang jalan, dan berenang bersama mereka di sungai jernih. Matahari menyinari mereka dan hidup terasa indah. Si ibu muda berseru, “Tidak ada yang lebih baik dari ini.”

Malam datang, dan badai juga. Jalan menjadi gelap dan anak-anak terkejut ketakutan dan kedinginan. Sang ibu memeluk mereka dengan erat dan membungkus mereka dengan mantelnya. Anak-anak berkata, “Oh, Ibu, kami tidak takut, karena engkau dekat, dan tidak ada sesuatu yang membahayakan akan datang.”

Maka sang ibu berkata, “Ini lebih baik dari siang hari, karena aku telah mengajari anak-anakku arti keberanian.”

Pagi datang. Di depan mereka berdiri sebuah bukit, lalu anak-anak mendaki bukit itu dan merasa lelah. Namun setiap waktu si ibu selalu berkata, “Sedikit lagi, bersabarlah maka kita akan sampai.”

Maka, anak-anak mendaki dan saat mereka sampai di atas, mereka berkata, “Kami tidak akan dapat melakukannya tanpamu, Ibu.”

Si ibu, saat berbaring tidur malam itu, memandangi bintang dan berkata, “Ini adalah hari yang lebih baik dari kemarin, karena anak-anakku telah belajar sabar di tengah kesukaran. Kemarin aku memberi mereka keberanian. Hari ini aku memberi mereka kekuatan.”

Hari berikutnya, muncul awan aneh yang membuat bumi menjadi gelap, awan peperangan, kebencian, dan kejahatan. Anak-anak meraba-raba dan berjalan tersandung, dan si ibu berkata, “Lihat ke atas. Arahkan pandanganmu kepada Terang.” Anak-anak melihat di balik awan ada Kemuliaan abadi, dan Kemuliaan itu membimbing mereka dan membawa mereka keluar dari kegelapan. Maka malam itu si ibu berkata, “Ini adalah hari yang paling baik karena aku telah menunjukkan kepada anak-anakku akan Allah.”

Hari-hari berlalu. Minggu, bulan, dan tahun. Si ibu menjadi tua dan dia menjadi kecil dan bungkuk. Namun anak-anaknya tinggi dan kuat berjalan dengan keberanian. Saat jalannya sulit, mereka membantu si ibu, dan saat jalannya kasar, mereka menggendongnya karena sang ibu ringan seperti bulu. Akhirnya, mereka sampai ke sebuah bukit, dan di balik bukit mereka dapat melihat jalan yang bersinar dengan sebuah gerbang emas yang terbuka lebar.

Si ibu berkata, “Aku telah mencapai ujung dari perjalananku. Sekarang aku tahu bahwa ujungnya lebih baik dari awalnya karena anak-anakku dapat berjalan sendiri dengan anak-anak yang mengikuti mereka.”

Anak-anaknya berkata, “Ibu akan selalu berjalan bersama kami, Bu, bahkan saat Ibu sudah melewati gerbang itu.”

Lalu, mereka berdiri dan memandangi sang ibu berjalan sendirian, dan gerbang tertutup. Mereka berkata, “Kita tidak dapat melihatnya, tapi ibu masih bersama kita. Seorang ibu seperti ibu kita lebih dari memori. Dia adalah sesuatu yang hadir dan terus hidup.”

Sumber: Temple Bailey di Log of the Good Ship Grace

Pusaka

Benda itu milik nenek buyut, jadi ia sadar harus memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Jambangan itu adalah salah satu benda berharga kesayangan Ibu. Ibu pernah mengatakannya.

Jambangan itu, yang dibungkus dan diletakkan di tempat yang tinggi, memang sengaja dijauhkan dari jangkauan tangan-tangan kecil. Namun, entah bagaimana ia bisa juga mencapainya. Sebenarnya ia hanya ingin melihat kuncup mawar kecil di tepi bagian bawah vas itu. Ia tidak sadar bahwa tangan seorang anak kecil berusia lima tahun kadang-kadang canggung dan tidak cocok memegang barang porselen halus. Jambangan itu pecah saat terjatuh. Ia pun mulai terisak. Isakan itu berubah menjadi sedu-sedan, makin lama makin keras. Dari dapur, sang ibu yang mendengar puteranya menangis segera datang. Ia bergegas menyusuri lorong rumah dan sampai di sudut ruang itu. Kemudian, ia berhenti dan melihat perbuatan putranya.

Di sela-sela tangisnya, sang putra dengan susah payah mengucapkan, “Aku memecahkan … jambangan itu.

Kemudian, ibunya memberikan suatu hadiah. “Syukurlah … kupikir kau terluka!” Ibunya memandang dengan lega. Ia dipeluk dengan lembut sampai tangisnya berhenti.

Ibu itu menyampaikan pesan yang sangat jelas. Anaknyalah yang berharga. Walaupun sekarang ia telah menjadi pria dewasa, peristiwa itu masih merupakan hadiah yang tersimpan di hatinya.

by: Ann Weems

Dia Terlalu Mencintaimu

Adakah orang yang rela mati demi orang lain? Kalaupun ada, pasti masih bisa dihitung dengan jari. Adakah orang yang mau mengorbankan dirinya sendiri, supaya orang lain bisa tetap hidup dan terbebas dari hukumannya? Kalaupun ada, itu semata hanya karena “KASIH“. Tidak mungkin ada musuh yang rela mati demi musuhnya. Tidak mungkin ada orang yang hatinya sudah disakiti tapi masih tetap mau mengorbankan dirinya sendiri demi orang yang sudah menyakiti hatinya itu. Tidak akan mungkin ada orang yang merelakan dirinya demi orang yang tidak dia kenal. Tidak akan mungkin ada orang yang rela mengorbankan sesuatu demi orang yang belum dikenalnya. Kalaupun ada, itu semata hanya karena “KASIH“.

Berikut ilustrasi yang semoga dapat mendeskripsikan seperti apa “KASIH” itu.

Di sebuah kerajaan hiduplah seorang raja dan anaknya. Pada awalnya mereka berhubungan sangat dekat dan damai sejahtera di kerajaan. Tidak ada yang dapat merenggangkan hubungan mereka.

Namun, suatu saat ada seorang hulubalang berniat menghancurkan raja. Dia cemburu karena raja sangat dielu-elukan oleh rakyat, sementara dia, hanya seorang hulubalang. Untuk menghancurkan raja, si hulubalang terus mencoba mencari-cari titik kelemahan raja. Namun semakin dia mencari, semakin dia cemburu pada kehebatan-kehebatan raja.

Akhirnya, dia menyerah dan mengurungkan niatnya. Tapi di saat dia hendak berhenti mencari cara, si hulubalang mendapat ide. Ide yang disebutnya “brilliant” itu adalah menghancurkan anak satu-satunya raja. Dia tahu bahwa pangeran adalah satu-satunya yang paling berharga bagi sang raja.

Singkat cerita, si hulubalang membuat skenario seakan-akan pangeran diculik oleh penjahat, padahal sesungguhnya dialah penjahatnya. Raja sangat sedih kehilangan puteranya, putera yang telah diangkat menjadi anak sendiri, karena dulu raja telah memutuskan untuk tidak menikah selama raja memerintah di kerajaan. Ketika itu raja baru saja berhasil mengamankan perang di salah satu desa kerajaannya. Namun saat dia ingin menikmati kebahagiaan itu bersama puteranya, dia malah mendengar berita bahwa pangeran menghilang. Raja dirundung kesedihan yang mendalam, namun apapun ceritanya dia harus tetap memerintah kerajaan, karena ini adalah amanat dari ayahnya (raja pendahulunya).

Tapi sesungguhnya si hulubalang-lah yang menghasut pangeran. Dia yang mengatakan bahwa raja sudah tidak menyayangi dirinya lagi, raja terlalu sibuk dengan urusan-urusan kerajaan. Memang, belakangan ini raja sangat sibuk karena terjadi perang saudara di desa kerajaannya. Tentu saja pada saat itu pernyataan hulubalang adalah benar dan masuk akal bagi pangeran. Si hulubalang terus-menerus menghasut pangeran, mengajarinya bergaul dengan orang-orang pinggiran kerajaan yang notabene adalah penjahat. Mereka adalah penjahat yang melarikan diri dari kejaran tentara kerajaan yang mengamankan peperangan itu.

Mereka tampak seperti singa yang kelaparan saat melihat kedatangan hulubalang dan pangeran. Mereka sangat membenci raja, dan itu sejalan dengan niat hulubalang. Mereka akhirnya berkomplot untuk menghancurkan raja. Mereka mengajarkan pangeran tentang semua yang jahat, merampok, menghajar orang, dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa dengan cara itu pangeran nantinya akan memperoleh kasih sayang dari ayahnya kembali. Jika pangeran menjadi nakal dan ikut menghancurkan kerajaan, maka raja akan segera diturunkan dari singgasana, raja tidak akan sibuk lagi, sehingga raja bisa selalu menyayangi dirinya seperti yang diharapkannya.

Pangeran yang malang. Tanpa waktu lama mereka telah mencuci otak pangeran, mereka terus saja membuat kesaksian palsu. Pangeran malah semakin bersemangat untuk turut membuat ayahnya tersingkir dari singgasana, karena pemikiran yang dangkal dan ketidaktahuannya. Pangeran muda dengan kepolosannya tidak tahu bahwa itu hal yang berbahaya bagi kerajaan.

Akhirnya tibalah saat para penjahat dan pangeran membuat perang di desa yang tadinya sempat mereguk indahnya damai. Belum lama usai, sudah perang lagi, begitulah kira-kira. Ternyata, perang kali ini lebih dahsyat dari perang sebelumnya. Para penjahat merasa lebih bebas menghancurkan desa, tentu saja karena sekarang mereka bersama-sama dengan pangeran. Dengan begitu raja tidak akan mungkin menghukum mereka. Perang membawa kehancuran dan nyawa melayang lebih banyak. Tapi, sesungguhnya pangeran tidak tega melihat keadaan ini, karena pada dasarnya pangeran orang yang berhati lembut dan polos seperti ayahnya. Dan tanpa rasa bersalah sedikitpun para penjahat itu telah mencoreng-moreng kepolosan pangeran, hanya demi memuaskan rasa sakit hati mereka pada raja.

Berita kehancuran desa sampailah ke telinga raja, tentu saja hulubalang yang membawa berita itu. Ini taktik untuk membuat raja hancur. Raja pun semakin bersedih. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. “Kenapa semua ini harus terjadi padaku, Papa? Kenapa hidupku terus dilanda bencana? Aku harus bagaimana? Aku sangat mengasihi puteraku. Aku harus mengerahkan tentara untuk mengatasi yang mana dulu? Untuk terus mencari anakku atau mengerahkan mereka untuk menangkap penjahat? Aku benar-benar bingung, Papa. Tolonglah aku…”

Dalam kesendirian dia terus memikirkan cara terbaik, hingga akhirnya memutuskan untuk mendahulukan kepentingan kerajaan. Raja memerintahkan pasukan untuk menangkap semua penjahat kelas kakap itu, semuanya tanpa kecuali. Beruntung, akhirnya mereka semua bisa tertangkap oleh tentara kerajaan. “Kerja bagus, pasukan…”, ucap raja saat melihat barisan penjahat berbaris di seberang singgasananya. Dan hari ini adalah hari penghukuman bagi semua penjahat yang tertangkap itu. Mereka semua akan dihukum cambuk sebanyak 70 kurang satu kali.

Tiba-tiba raja melihat salah satu penjahat yang berdiri di paling pinggir barisan, dia tertunduk malu dan wajahnya penuh dengan bekas luka dan tonjokan. Hancur. Bonyok. Orang yang dilihat raja itu lebih cocoknya disebut bocah daripada seorang penjahat. Raja mulai merasakan ada yang berbeda dengan anak itu. Didekatinya bocah itu, dia tersadar, ya dia yakin itu adalah puteranya, putera yang sudah sekian lama dia rindukan.

Tanpa malu-malu, raja memeluk bocah itu dan tanpa sadar dia meneteskan air mata. Bocah itu hanya terpaku dalam diam. Dia sangat malu berdiri di sana. Biasanya dia tidak pernah berdiri di hadapan rakyat sebanyak ini. Dia sangat ketakutan, namun raja terus memeluk bocah itu dengan eratnya. Berbeda dengan si bocah yang merasa sangat malu, raja malah tidak peduli dengan semua mata yang memandangnya aneh. Yang terpenting baginya adalah putera kesayangannya telah kembali meski dengan penampilan yang lebih pantas disebut gembel.

Akhirnya, apapun ceritanya, hukuman cambuk harus tetap dijalankan, meskipun salah satu dari penjahat kelas kakap itu adalah pangeran. Meski bukan anak kandung, namun kasih raja kepada anak itu sungguh mendalam, melebihi apapun, mereka pernah hidup bersama dan sangat dekat. Hal itu pun dibuktikannya saat giliran pangeran untuk dihukum cambuk.

Semua mata penghuni kerajaan tertuju pada raja mereka. Semua terpaku saat melihat raja perlahan-lahan melepaskan jubah kemuliaannya, melepaskan kehormatan dan kebesarannya di depan semua rakyat dan bawahannya. Dia tidak peduli dengan pendapat mereka. Yang terpenting baginya adalah dia bisa menggantikan posisi anak yang sangat dikasihinya. Peraturan tetap peraturan. Tidak ada yang bisa menggantikan hukuman bagi anak di bawah umur selain orang tuanya sendiri. Dan raja siap untuk menggantikan hukuman cambuk yang biasanya dilakukan pada penjahat kelas kakap.

Cambukan, sebanyak 70 kurang satu kali. Bukanlah suatu hukuman ringan. Bukan hanya sakitnya. Tapi harga dirinya telah dikorbankan demi anaknya. Takhtanya. Nama baiknya. Cambukan, sebanyak 70 kurang satu kali. Satu demi satu, begitu menyakitkan. Hanya suara “Oowwhh…” yang terdengar dari mulut orang-orang yang memandangnya. Pangeran hanya bisa menangis memandang ayahnya dicambuki sedemikian kejamnya. Gara-gara kenakalannya dan kebodohannya, ayahnya sekarang harus menanggung deritanya. Pangeran menangis sesenggukan sambil berteriak, “Hentikan!” Suaranya hampir habis karena berteriak dan menangisi ayahnya. Rakyat yang lain pun tenggelam dalam pemandangan mengharukan itu.

Akan tetapi, suara kesakitan tidak pernah keluar dari mulut sang raja. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan orang-orang, terutama anaknya. Dia terus mencoba tersenyum menutupi rasa sakitnya. Dia terus tersenyum memandang anaknya, penuh kasih, seiring dengan cambukan yang satu-persatu terus menghantam tubuhnya, yang kini tampak berbekas-bekas biru. Tidak dihiraukannya lagi semua cambukan itu. Yang dipikirkannya hanyalah, setelah hukuman ini aku akan bisa hidup bersama anakku lagi. Hidup bahagia bersamanya. Seperti dulu lagi. Aku akan melakukannya demi anakku. Ya, demi cintaku padamu, Nak.

Satu cambukan lagi, maka berakhirlah, namun raja tetap tersenyum dalam kesakitannya. Pangeran berlari memeluk ayahnya yang sudah tidak berdaya lagi. Raja merasa sangat bahagia saat melihat puteranya yang dulu hilang, kini kembali lagi. Pangeran terus menangis melihat tubuh ayahnya yang kini sudah tidak jelas lagi. Darah membaur bersama kulit dan bekas cambukan. Pangeran tak kuasa menahan perih di hatinya, dia menyesal, sangat menyesal. Namun, tangisan pangeran hanya dibalas dengan senyuman yang berkata, “Lihat anakku, aku sangat mencintaimu. Bahkan terlalu mengasihimu.” Raja menutup kedua matanya dan tersenyum bahagia dalam pelukan anaknya.

His grace: GMS inspired by ATK