Apa sih konsep IQ – EQ – SQ itu sebenarnya?

Sudah jadi dambaan tiap orangtua kalo anaknya itu bakal jadi anak yang pinter, cerdas dan berbudi pekerti luhur (sedaapp). Pasti lo sering ngalamin deh, didoain, diharepin, dipaksa, bahkan diomelin sama orangtua cuma biar lo jadi pinter. Oleh karena itu, pasti lo gak asing dong sama singkatan IQ, yang merupakan singkatan dari Intelligence Quotient atau nilai kecerdasan seseorang. Belum juga ngerti tentang apa itu IQ, eeh udah ada lagi yang namanya EQ (Emotional Quotient), dan tiba-tiba muncul lagi istilah SQ (Spiritual Quotient). Sebenernya apaan sih itu? Emang bener yah kecerdasan emosional dan spiritual orang bisa dikuantifikasi?

Belum juga ngerti masing-masing istilah IQ, EQ, SQ itu apa, eeh tiba-tiba kita udah disuruh buat tes IQ lah, test EQ, belajar dan ikut program ini-itu, demi meningkatkan nilai IQ, EQ, dan SQ kita. Nah, sebelum kita capek-capek belajar dan muter otak sampe jungkir balik segala macem demi ningkatin apa yang sebenernya kita belum paham, blog zenius kali ini bakal seru banget karena gue bakal kasih tau elo selengkapnya apa itu konsep IQ, EQ, dan SQ yang sebenernya. Oke kita langsung aja deh nih ngomongin yang pertama.

IQ – Intelligence Quotient

Excel-IQ-EwB-Chart

IQ atau nilai kecerdasan seseorang. Nah yang ini nih sebenernya konsep yang udah ada sejak akhir abad 19, kira-kira di tahun 1890-an, yang pertama kali dipikirin oleh Francis Galton (sepupunya Charles Darwin, Bapak Evolusi). Berlandaskan dari teori sepupunya mengenai konsep survival dari individu dalam suatu spesies, yang disebabkan oleh “keunggulan” sifat-sifat tertentu dari individu yang diturunkan dari orangtua masing-masing, Galton menyusun sebuah tes yang rencananya mengukur intelegensi dari aspek kegesitan dan refleks otot-otot dari manusia. Baru pas awal abad 20, Alfred Binet (dibaca: Biney), psikolog dari Perancis, ngembangin alat ukur intelegensi manusia yang mulai kepake sama orang-orang. Dari alat ukur ciptaan Binet ini akhirnya berkembang deh alat-alat ukur IQ sampe yang kita kenal dan pake sekarang.

Gara-gara orang mulai sadar sama pentingnya intelegensi dan pengetesannya, mulai deh tuh, para ahli psikologi neliti dan bikin hipotesis tentang kecerdasan. Banyak banget deh yang akhirnya muncul dengan pendapat yang berbeda-beda, masing-masing dengan bukti yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak. Ada yang menganggap bahwa kecerdasan adalah konsep tunggal yang dinamakan faktor G (general intelligence). Ada juga yang menganggap kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set kemampuan, yaitu fluid (Gf) dan crystallized (Gc). Berbagai macam pengetesan kecerdasan dibikin ngacu ke pandangan-pandangan ini sepanjang abad ke 20. Tapi yang lagi ngetrend sekarang tuh yang namanya multiple intelligence, atau kecerdasan berganda yang dicetuskan oleh Howard Gardner di tahun 1983. Gardner nyebutin bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum, namun merupakan set-set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu, yang semuanya merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun.

Gardner awalnya membagi kecerdasan manusia menjadi delapan kategori yaitu:

  1. (a) Music-rhythmic & Harmonic,
  2. (b)Visual-spatial,
  3. (c) Verbal-linguistic,
  4. (d) Logical mathematical,
  5. (e) Bodily-kinesthetic,
  6. (f) Intrapersonal,
  7. (g) Interpersonal,
  8. (h) Naturalistic.

Masing-masing lengkapnya kayak apa mending elo google aja deh, kepanjangan men. Intinya lo bisa tangkep lah dengan gampang kalo liat istilahnya aja. Nah, seiring berjalannya waktu, akhirnya Gardner nambahin lagi aspek kecerdasan kesembilan, yaitu (i) Existential – yang mencakup sisi spiritual dan transendental. Walaupun populer, teori ini mendapat banyak kritik karena kurangnya bukti empiris.

Nah, oleh karena itu, sampe sekarang para ahli belum sepakat dalam ngasih definisi apa itu kecerdasan, diukur pake alat apa, serta apa arti dari skor kecerdasan seseorang. Makanya, sekarang tuh para praktisi ilmu psikologi, pendidik, sekolah, dan beberapa negara maju udah gak make lagi tuh istilah “tes IQ”. Alih-alih mereka bilangnya tes tertentu kayak “tes kemampuan akademik”, “tes kecerdasan verbal”, dan sebagainya.

Masalahnya, di Indonesia nih masih umum banget istilah IQ. Gak jarang juga kan kita denger pertanyaan: “IQ lo berapa?”, “Gimana men besok tes IQ, udah siap?”, “Itu butuh IQ berapa sih biar bisa keterima di sekolah/kelompok itu?”, dan sebagainya. Lewat tulisan ini, gue rada pingin nyuarain juga nih ke elo-elo pada, bahwa banyak banget pengetesan yang sebenernya gak ngukur kecerdasan umum, tapi ngakunya sebagai tes IQ. Harus hati-hati deh buat nyikapinnya. Ini bukan berarti yang namanya IQ atau kecerdasan umum itu gak ada yeh. IQ itu ada, tapi yang bermasalah itu alat ukurnya biasanya gak akurat. Jadi biarin deh urusan begituan diserahin dulu ke para ahli bidang yang bersangkutan.

Balik lagi nih ke pandangan umum masyarakat tentang konsep “kecerdasan umum” atau yang dikenal sebagai IQ tadi. IQ gue tinggi, terus? IQ gue jongkok, terus? Kalo nilai skor tes gue jeblok, apa berarti gue orang bego, gitu? Nah, pertanyaan-pertanyaan ini nih gak bisa dijawab dengan jawaban yang simpel kayak: “Iya ya ternyata gue bego karena IQ gue rendah”, atau sebaliknya. Yang namanya bego, itu gak cuma gara-agara IQ lo rendah doang, atau cerdas karena IQ lo tinggi. Gini misalnya, lo punya skor IQ tinggi trus pada suatu kesempatan lo lagi bawa motor. Karena ingin cepet-cepet sampe, lo ambil jalan yang berlawanan arus. Trus gara-gara ini, lo jadi didamprat orang yang lagi jalan kaki di jalur yang semestinya. Trus akhirnya lo dibilang “ah tolol luh!” (maapin kata-kata gue kalo rada kasar, gue cuma mau bikin ini lebih realistis aja). Masuk akal juga kan kalo lo didamprat kayak gitu, padahal skor IQ lo tinggi.

Kasus di atas bikin suatu kesan buat kalangan umum non akademik buat berpikir bahwa kemampuan pikiran belum tentu membuat lo jadi terlihat cerdas dan adaptif dalam bertingkah laku. Padahal kan tadi di atas disebutin bahwa kecerdasan itu pada intinya adalah kemampuan yang membuat manusia adaptif sebagai individu. Pandangan-pandangan umum yang kayak gini yang akhirnya membuat para ilmuwan kejiwaan ngembangin sebuah konsep terpisah yang dinamakan…

Emotional Quotient Intelligence

 

Emotional-IntelligenceLah kok, jadi beda istilah?! Tadi di atas bilangnya Emotional Quotient (EQ) kok sekarang jadi Emotional Intelligence (IE)? Sebenernya sih sama, tapi emang udah jelas banget sih kalo istilah EQ (yang arti harafiahnya itu “hasil pembagian dari emosi”) itu salah. Lebih tepat digunakan kecerdasan emosional buat jelasin konsep yang dimaksud. Makanya akhirnya para ahli lebih milih istilah Emotional Intelligent (EI). Ngerti gak sampe sini men?

Nah kalo sampe poin ini lo udah bisa pahamin, kita lanjut bahas soal apa yang orang-orang bilang soal EQ (atau EI). Sering banget kita denger orang-orang awam suka ngomong “percuma IQ tinggi tapi EQ jeblok” atau semacamnya. Sering kan? EQ pertama kali dikonsepin oleh Keith Beasley pada tulisannya pada artikel Mensa pada tahun 1987. Tapi, istilah ini baru bener-bener mendunia (dan udah ganti jadi EI) setelah Daniel Goleman pada bukunya “Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ” yang terbit pada tahun 1995. Walaupun buku ini dianggap bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun oleh Goleman bikin para ahli psikologi rame-rame bikin penelitian tentang hal ini.

Kecerdasan Emosional, pada intinya adalah kemampuan kita buat ngidentifikasi, ngukur, dan ngontrol emosi diri sendiri, orang sekitar, dan kelompok. Para peneliti EI punya posisi bahwa EI lebih penting daripada sekadar kecerdasan kognitif. Goleman sendiri membagi kemampuan-kemampuan emosional menjadi lima kemampuan:

  1. (a) Kesadaran Diri
  2. (b) Kontrol Diri
  3. (c) Kemampuan Sosial
  4. (d) Empati
  5. (e) Motivasi

Goleman berpendapat bahwa tanpa kelima kemampuan ini, orang yang memiliki IQ tinggi bakal kehambat dalam kegiatan akademik serta pekerjaan.

Walaupun laku keras di kalangan umum, banyak ilmuwan dan praktisi psikologis yang tetep skeptis sama kecerdasan emosional. Yang paling mereka kritik adalah pengetesannya. Ilmuwan harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun bikin suatu hipotesis, harus didukung sama pengukuran yang akurat. Nah, para ahli psikologi ngekritik EI karena alat ukurnya gak valid (valid ini maksudnya gak ngukur apa yang harusnya diukur). Alat-alat tes EI itu kebanyakan soalnya berupa pilihan-pilihan jawaban yang bisa aja orang yang ngisi ngibul pas ngejawabnya. Makanya para ahli kurang bisa nerima hasil pengukuran EI. Belum kelar masalah EI, eh tiba-tiba ada lagi yang ngusulin sebuah konsep kecerdasan baru yang dinamain…

Spiritual Quotient Intelligence 

Spiritual Intelligence (SI) atau kecerdasan spiritual. Pertama kali dikonsepin sama psikolog yang bernama Danah Zohar, pada tahun 1997. Konsep ini dapat dibilang baru dalam dunia psikologi, karena emang konsepnya aja belum dianggep matang. Banyaaaak banget kritik soal konsep SI ini bahkan bukan soal pengukurannya atau nilainya, tapi soal konsep dasarnya. SI ini dibuat oleh Zohar untuk mengukur kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupannya, jadi  gak ada hubungannya dengan agama ataupun kerohanian dalam konsep awam.

Kemampuan-kemampuan yang menurut Zohar tergabung dalam konsep SI antara lain: Spontanitas, visioner, rasa kemanusiaan, kemampuan untuk bertanya hal-hal yang bersifat mendalam seperti “Siapakah saya dalam dunia ini?”, kemampuan untuk menerima perbedaan, dan sebagainya. Nah lagi-lagi, selain konsepnya yang belum mateng, alat ukurnya lebih ngaco lagi, kalo menurut ahli-ahli ilmu psikologi. Alat ukurnya lebih bisa bikin yang ngisi ngibul soal kondisinya, yang akhirnya bikin skor tesnya jadi tinggi-tinggi deh. Susah kan ngukurnya kalo kaya gini!?

Seperti biasa, dunia bisnis berkembang jauuuuh lebih cepet daripada dunia ilmu pengetahuan. Kalo ada konsep-konsep yang menarik dan “laku dijual”, para pelaku bisnis pasti cepet tanggep makenya padahal belum yakin itu konsep udah mateng atau belum. Kalo dalam ilmu lain, fisika kimia misalnya, kalo ada penemuan yang belum mateng terus udah laku di pasaran, resikonya kan jelas lah yaa, meledak lah, beracun lah, bikin mati sekampung lah.

Nah kalo dalam ilmu psikologi, dampak-dampak itu gak keliatan langsung, tapi sebenernya bakal ujung-ujungnya kerasa dampaknya. Contohnya gini deh, konsep EI dan SI belum mateng, alatnya belum valid, tapi udah dipake buat nyeleksi manajer di satu perusahaan. Dari hasil tes dibilang bahwa si calon X punya kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi, tapi tesnya gak valid. Walhasil taunya si manajer gak bekerja sesuai yang diharepin. Akhirnya, sayang kan duit yang dipake buat seleksi dan gaji si manajer X.

Maka dari itulah, semua yang kira-kira punya embel-embel “quotient” nya atau “kecerdasan” ini itu emang kedengeran seksi di kuping kita. Yang namanya orangtua itu ingin anaknya cerdas, berpekerti luhur, spiritual, dsb. Udah keniscayaan itu sih. Tapi, kita sebagai kaum terpelajar yang harus berpikir kritis, jangan lah cepet-cepet percaya sama apapun yang dibilang sama orang lain. Telusurin sendiri sebelum rugi. Di Indonesia nih misalnya, udah jelas konsep EI belum jelas alat ukurnya, pelatihan-pelatihan dan pengukuran EI udah menjamur di mana-mana. Pake alat apa juga gak peduli deh yang penting laku.

Terus, Danah Zohar di atas kan udah bilang kalo SI gak ada hubungannya dengan agama, tapi pelatihan-pelatihannya banyaaaaaaak banget (ini beneran banyak banget yeh, se-Indonesia). Kebayang gak kalo ternyata konsepnya gak mateng dan itu pelatihan malah bikin kita jadi cerdas secara spiritual, tapi malah misalnya jadi takut sama kehidupan, ngerasa banyak dosa, dsb. Gak nyambung dong sama yang dikonsepin sama Danah Zohar? Ya gak!?

Nah pesen moral dari tulisan ini cuma singkat: Sebagai kaum terpelajar, kita harus telusurin dulu sebelum percaya apapun, terutama kalo itu bisa bikin kita rugi baik secara finansial maupun psikologis.

by: Faisal Aslim

Kenapa Emas & Perak Dihargai Lebih Mahal dari logam lain?

Hey, guys… Ketemu lagi nih sama gue, si ganteng Ivan! :P

Kalo sebelumnya, kita udah pernah cerita tentang Matematika yang dikawinin sama Biologi, sekarang gue akan ceritain satu hal yang umum di kehidupan sehari-hari, tapi bisa dipandang dari segi Kimia, Ekonomi, sampe Sejarah. Wah apaan tuh? Penasaran kan?

Btw sebelum masuk ke topik bahasan, gue mau tanya dulu nih, diantara lo (terutama yang cewek) ada yang hobi koleksi aksesoris gak? Atau mungkin ada yang dari kecil udah “diwarisin” perhiasan (kalung atau gelang gitu deh) oleh ortunya yang biasanya berupa logam mulia seperti emas atau perak. Yup, emas dan perak itu dikategorikan sebagai logam-logam mulia yang dianggap sebagai barang berharga, bahkan gak jarang yang menjadikan itu sebagai bentuk investasi yang bisa dijual dengan harga lebih mahal di masa depan. Nah sekarang, lo pernah kepikiran gak sih kalo emas/perak itu kan cuma sepotong material senyawa kimia padat ya, sama seperti besi, aluminium, tembaga, timbal, seng, dll, tapi kok bisa sih emas/perak dihargai lebih mahal daripada materi yang lain?

Emang apa istimewanya sih emas/perak? kok harganya bisa sampai mahal sedangkan bentuk senyawa padat lain harganya lebih murah? Padahal emas gak bisa dimakan juga, gak efisien dipake sebagai bahan bangunan, kurang begitu esensial buat kehidupan sehari-hari, masa cuma gara-gara buat hiasan doang karena warnanya bagus dan mengkilat. Terus kok tiba-tiba bisa sih semua orang di seluruh dunia kompak bikin harga logam atau mineral tertentu bisa lebih mahal daripada yang lain?

Eit… tapi sebelum gua jawab pertanyaan itu, mau gak mau kita harus mulai dulu dari pertanyaan dari nilai keberhargaan barang itu dilihat dari apa, yang dalam hal ini indikatornya adalah uang. Dari uang sebagai nilai tukar, kita juga harus paham konsep ekonomi dan sejarahnya. Okay, di Zenius Blog kali ini gue akan bahas hal-hal di atas sekaligus share cerita tentang peran emas dan perak sebagai salah satu bentuk nilai tukar (mata uang) yang pertama di dunia. Okay, langsung aja yuk kita mulai ceritanya.

Sejarah Uang Emas/Perak dan Inflasi

Pernah gak sih lo kepikiran dari sebuah ungkapan “in the end, money is only a paper“. Secara materialis, uang yang kita kenal sekarang itu emang sebetulnya cuma sekedar kertas yang ada gambarnya terus dikasih nilai bahwa kalo yang gambarnya anu nilainya sekian, gambarnya lain nilainya lain lagi. Tapi kertas-kertas ini bisa jadi mewakili bentuk transaksi nilai, barang, dan jasa. Bayangin aja, lo ngasih kertas bergambar dapet satu mangkok bakso yang enak. Lo ngasih kertas bergambar tertentu dapet gadget keren, tapi kalo lo gambar sendiri kertasnya, paling lo ditabok atau masuk penjara karena dianggap bikin uang palsu, hehe…

Berarti dalam konteks ini kita mengenal beberapa fungsi uang yang kita pegang sehari-hari, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, dan alat simpan nilai. Sampai abad ke-18, sebagian besar uang yang beredar di dunia berbentuk komoditas, berupa koin emas dan perak. Waktu itu, belum ada tuh mesin cetak kertas yang bisa mencetak kertas dengan gambar tertentu dengan seragam dan tersebar luas secara geografis. Ya mau gak mau harus pake mesin cetak yah, masa uang mau digambar satu per satu? Berarti nanti semua orang bakal bikin uangnya sendiri-sendiri dong. Maka dari itu, emas dan perak-lah yang memiliki peran penyimpan nilai. Sehingga setiap pertukaran transaksi barang dan jasa, diukur dengan sejumlah emas atau perak.

Tetapi bukan berarti nilai setiap barang penyimpan nilai itu stabil lho, pasti lo pernah denger kan kalo “harga emas lagi naik/turun nih”. Nah, lo tau gak itu kenapa alasannya dibalik hal itu? Dalam barang pembentuk uang (dalam hal ini emas/perak), berlaku hukum pasar yang disebut juga hukum penawaran dan permintaan. Buat yang udah lupa hukum penawaran dan permintaan, bisa coba ditengok dulu video penjelasannya di zenius.net biar inget lagi.

Nah, hukum permintaan dan penawaran ini pun berlaku untuk barang pembentuk uang, alias emas dan perak. Setiap kali ada emas atau perak yang masuk ke suatu ekonomi (misalnya melalui penemuan tambang emas atau perak baru) nilai emas atau perak tersebut akan berkurang. Kenapa? Karena muncul supply baru yang beredar di pasar, tapi pertumbuhan produksi jumlah barang dan jasa kurang dan cenderung stabil segitu-segitu aja. Keadaan ini menyebabkan nilai uang menurun, dan berdampak terjadinya inflasi.

Ada dua contoh terkenal dalam sejarah mengenai inflasi, gini nih cerita sejarahnya…

Cerita 1: Musa I – Mansa Mali

Contoh yang pertama adalah cerita Musa I, “Mansa” (gelar raja) Mali. Doi menguasai kekaisaran Mali di Afrika Barat dari tahun 1312-1337. Mali memiliki tiga tambang emas yang besar. Hukum Mali waktu itu melarang perdagangan dengan emas. Semua emas adalah milik Mansa dan dapat ditukar dengan uang komoditas lain yang digunakan di Mali, yaitu garam dan tembaga. Karena hukum ini, para Mansa yang memerintah punya emas yang banyak banget. Kejadian ini adalah satu-satunya dalam sejarah di mana nilai emas di wilayah Laut Tengah dikendalikan hanya oleh satu orang.

Nah, sebagai seorang Muslim yang taat, Mansa Musa pergi naik haji pada tahun 1324. Total rombongannya mencapai 70,000 orang, membawa banyak harta termasuk hampir 20 ton emas. Sepanjang jalan, Musa menyumbang emas kepada orang miskin di kota-kota besar yang dia lewati, termasuk Kairo, Mekkah, dan Madinah. Selain itu, dia juga membeli banyak suvenir dengan harga yang lebih tinggi dari seharusnya (mungkin agak ditipu pedagang setempat hehehe). Bahkan, konon dia membayar orang untuk membangun masjid baru di tempat manapun yang dia lewati setiap hari Jumat! Karena begitu banyaknya emas Afrika yang mengalir ke pasar kota-kota tersebut, semua orang jadi punya banyak emas.

Mansa-Musa-Mali

Karena semua orang tiba-tiba “kaya” dan berlimpah emas, jadinya nilai emas gak begitu berharga (soalnya semua orang jadi punya emas). Hal ini mengakibatkan nilai tukar emas menurun drastis dan bahkan tidak kembali ke tingkat yang sama sampai seenggaknya satu dekade. Akibatnya, harga barang-barang melangit, daya beli masyarakat menurun, dan sektor ekonomi rill jadi terhambat. Kacaulah kondisi ekonomi di jazirah Timur Tengah dan sebagian Afrika pada masa itu.

Nah, jadi sekarang lo paham yah, bahwa hukum ekonomi itu terjadi dalam ruang lingkup masyarakat di zaman kapanpun selama manusia punya kebutuhan dan saling berinteraksi untuk memenuhi itu. Coba sekarang lo bayangin kalo misalnya tiba-tiba semua orang di Indonesia punya uang yang banyak, itu bukan berarti semua orang langsung jadi sejahtera yah. Malah sebaliknya, kalo semua orang dibagi-bagiin uang dalam jumlah banyak, sementara sektor produksi riil tetap, bisa-bisa kacau balau perekonomian negara kita.

Cerita 2: Spain Colonial Exploitation

Contoh yang kedua adalah eksploitasi emas dan perak Amerika Latin yang mengubah ekonomi dunia. Di tengah abad ke-16, penakluk Spanyol “mengambil” (baca: merampok) emas dalam jumlah masif dari bangsa Inca dan juga menemukan tambang perak yang menggunung di Potosi, Peru. Walaupun nilai perak sekarang jauh lebih rendah dari emas, pada zaman itu perak masih banyak dicari terutama di Timur Tengah dan Timur Jauh (China), dan harganya bisa dua kali lipat harga perak di Eropa. Karena itu, tambang perak itu dieksploitasi secara massal selama satu abad berikutnya. Akibatnya, koin perak Spanyol jadi mata uang internasional dan banyak beredar di Eropa.

Naah… gara-gara eksploitasi besar-besaran itu, Eropa kebanjiran perak dari Amerika latin dan mengalami inflasi yang cukup tinggi karena uang tiba-tiba jadi berlimpah sementara produktivitasnya kurang-lebih ya segitu-segitu aja. Sementara itu, di China, perak (uang) yang mengalir ke sana nggak datang begitu cepatnya (ya kali China kan jauh bro!) sehingga ekonomi mereka tumbuh dengan lebih stabil.

Jack-PesoKalo lo penasaran, nama koin Spanyol ini real de a ocho atau disebut juga peso de ocho, asal usul kata nama mata uang peso. Dalam bahasa Inggris, peso de ocho artinya “piece of eight” karena nilai satu koin tersebut adalah 8 real (mata uang Spanyol sebenarnya). Oiya, lo mungkin pernah lihat koin Spanyol yang jadi mata uang internasional itu, menggantung di bandana-nya kapten Jack Sparrow. Koin itu adalah “piece of eight” kesembilan di cerita Pirates of the Caribbean.

PS. peristiwa ini juga yang mendasari era awal bajak laut. Itu karena hasil eksploitasi tambang dari Amerika Selatan (dan barang dagangan) harus didistribusi ke daratan Eropa melalui perairan Atlantik (yang salah satunya adalah perairan Karibia).

Lha, terus kenapa Emas dan Perak Dibuat dan Dipakai Jadi Uang dari Zaman Dulu?

Okay sekarang lo udah paham tentang fungsi nilai mata uang dan sedikit penjelasan tentang pengaruhnya dalam ekonomi. Nah sekarang kita balik haluan dari ekonomi dan sejarah ke ilmu Kimia. Kita balik lagi ke pertanyaan kenapa logam berharga, harganya relatif lebih tinggi dari unsur-unsur lain di muka bumi ini. Yang paling terkenal adalah tiga logam yang biasanya dibuat menjadi koin sejak zaman dulu, yaitu emas, perak, dan tembaga. Eh kok tembaga, bukannya perunggu ya? Perunggu itu sebenarnya campuran dan bukan logam murni, berbahan dasar tembaga (~90%) ditambah timah (~10%). Campuran perunggu ini sifatnya lebih keras dan tahan banting daripada tembaga murni sehingga selain bisa dibuat menjadi koin yang tahan lama, perunggu juga banyak dipakai untuk benda lain, seperti senjata tajam dan baju pelindung.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa harga logam berharga itu tinggi, gue akan sedikit menyentuh segi Ekonomi dari pertanyaan ini, sebelum gue masuk ke Kimia. Nah pertama-tama, pastinya, sebuah logam akan dianggap berharga jika logam itu langka. Kelangkaan adalah masalah utama dalam ekonomi, dimana kita sebagai manusia punya keinginan yang tak terbatas sementara sumber daya kita terbatas untuk memuaskan keinginan tersebut. Konsep kelangkaan ini sering keliru dimengerti oleh orang-orang. Sebuah benda bisa saja langka, tapi bukan berarti benda itu penting lho. Agar sebuah benda menjadi langka, benda itu harus sulit didapatkan, sulit dibuat, atau keduanya. Karena itu, biaya produksi kita untuk mendapatkan benda itu akan menentukan kelangkaan benda tersebut. Contohnya, udara. Meskipun penting banget untuk kehidupan manusia, kita gak perlu biaya untuk produksi udara. Makanya, udara itu tidak langka, gratis, dan yang jelas tidak berharga sebagai nilai tukar barang/jasa.

Di sisi yang lain, berlian itu nggak bisa dimakan kalau lo laper, tapi untuk mendapatkan berlian orang harus mencari dan memprosesnya, dengan biaya produksi yang tidak kecil. Gak sembarangan orang bisa menciptakan maupun mendapatkan berlian. Makanya, berlian itu langka dan harganya tinggi sebagai nilai tukar barang/jasa. Sementara kalo semua orang bisa dengan mudah menciptakan alat nilai tukar, yang terjadi adalah sama persis dengan dua cerita inflasi yang gua ulas sedikit di atas. Semua orang langsung “kaya”, dan nilai tukar malah merosot dan roda perekonomian gak berputar dengan lancar.

Harga-Logam

Ketiga logam tadi (emas, perak, tembaga) itu cukup langka di dunia klasik. Makanya, ketiga bahan tadi menjadi bahan pembuat koin dalam jangka waktu yang cukup panjang dalam sejarah. Tapi selain langka, ada syarat lain agar bahan-bahan tersebut cocok untuk dijadikan uang. Di sini baru sifat-sifat kimia suatu bahan jadi “persyaratan” yang membuat bahan itu berharga. Pertama, nilai tukar tersebut (dalam hal ini koin) harus bisa bertahan lama agar bisa terus beredar sebagai nilai alat tukar. Oleh karena itu, logam yang dipakai harus tahan terhadap korosi atau oksidasi di udara yang lembap.

Nah, ketiga logam ini (emas, perak, tembaga) dianggap sebagai logam mulia karena tidak mudah berkarat. Sebetulnya kalo definisi dari logam mulia itu adalah logam yang tidak mudah berkarat, berarti logam mulia sebenarnya gak cuma tiga itu. Ruthenium, rhodium, palladium, osmium, iridium dan platinum juga sebenarnya termasuk logam mulia, tetapi mereka ditemukan pada abad 18 ke atas, jauh setelah koin emas, perak dan perunggu dipakai secara umum. Merkuri atau raksa juga termasuk logam mulia sih, tapi wujudnya yang cair dalam suhu ruangan bikin dia jadi gak bisa dipakai.

Logam-Mulia

Harga-Logam

Keliatan kan beda jauh harganya? Timah (tin) harganya 9 dolar per lb (kurang setengah kilogram) dan ruthenium harganya 60 dolar per ozt (31 gram).

Logam-logam mulia disusun berdasarkan posisinya di tabel periodik. Tembaga (Cu), Perak (Ag) dan Emas (Au) ada dalam satu golongan.

Tabel-Periodik

Nilai emas yang tinggi sebagai uang ini juga penting dalam ilmu cikal bakal kimia, al-kimia (alchemy). Pada abad ke-8, seorang ilmuwan al-kimia Arab, Jābir ibn Hayyān, dikenal sebagai “Bapak ilmu Kimia” oleh banyak orang karena memperkenalkan konsep yang belum digunakan dalam al-kimia sebelumnya. Konsep ini menekankan metode saintifik dan eksperimen di laboratorium untuk mempelajari unsur-unsur. Jābir juga tercatat sebagai orang pertama yang menggunakan aqua regia, atau air raja, campuran HNO3 dan HCl dengan rasio 1:3. Aqua regia ini dapat melarutkan logam mulia yang paling mulia zaman itu, alias emas.

Namun, metode saintifik yang dibawa oleh Jābir alias Geber ini belum banyak digunakan oleh pelaku al-kimia lain. Tujuan dari para pelaku al-kimia (yang masih ngawur) secara umum cuma dua:

  1. Menemukan zat yang bisa mengubah logam lain menjadi emas atau perak.
  2. Menemukan zat yang bisa menyembuhkan semua penyakit dan bisa memberikan hidup panjang bahkan hidup abadi.

Kok jadi kayak di dongeng-dongeng yah? Ya emang beneran ada kok periode dimana orang-orang nyari obat awet muda, ramuan buat ngubah benda jadi emas, berlian, ruby, sapphire, dsb. Kalo kita yang denger di zaman sekarang mungkin terdengar konyol, tapi emang itulah proses tahapan belajar dari yang ngaco jadi makin bener, dan makin bener terus.

Ilmu al-kimia (yang masih rada ngaco) inilah yang akhirnya berkembang menjadi ilmu kimia (yang udah bener saintifik) pada era enlightenment abad ke-16 di mana metode saintifik mulai digunakan lebih luas. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, akhirnya kita tahu sekarang bahwa al-kimia itu ngawur, karena identitas unsur ditentukan oleh inti atomnya dan tidak bisa berubah, kecuali oleh reaksi inti – fusi dan fisi.

Kenapa ya sekarang kita nggak lihat emas dan perak lagi sebagai bentuk nilai mata uang kita?

Dalam sejarah, penggunaan uang komoditas semakin berkurang ketika banyak negara berpindah ke sistem uang fiat pada abad ke-18. Apa itu sistem fiat? Sistem fiat adalah sistem, di mana uang yang beredar hampir nggak mempunyai nilai nyata atau intrinsik, tapi karena pemerintah bilang itu ada nilainya jadinya bernilai deh. Maksudnya, kertas yang dicetak dengan gambar dan tulisan Rp. 100.000 itu bernilai 100.000 rupiah karena mempunyai tanda legal oleh hukum dari pemerintah Indonesia. Apa alasannya nilai mata uang berpindah dari koin jadi kertas? Yang pasti adalah nilai kepraktisan, dari mulai kepraktisan mencetak, sampai kepraktisan dalam penyimpanan, dan kepraktisan dalam transportasi. Peralihan uang koin ke kertas sendiri terjadi tidak serempak di seluruh dunia, dari mulai yang pertama China (abad ke-7), Italia (abad ke-14), Amerika Serikat (abad ke-17). Kebayang yah lo gimana ribetnya transisi nilai tukar dari logam mulai ke kertas (abis belum ada internet, Twitter dan Facebook jadi seluruh dunia gak bisa langsung kompak).

Tadinya, semua uang kertas dan koin yang dicetak itu di-“patok” ke komoditas tertentu, biasanya emas atau perak, terutama dolar Amerika sebagai mata uang internasional. Pada tahun 1944, dolar Amerika dipatok pertukarannya, yaitu 35 dolar untuk satu troy ounce (31.103 gram) emas. Jadi semua mata uang negara lain dapat ditukar dengan dolar Amerika sehingga semua pertukaran uang jelas rasionya terhadap emas.

Awalnya sistem ini oke-oke aja, karena satu negara Amerika ekonominya lebih besar dari sepertiga dunia. Tetapi memasuki tahun 1970, porsi ekonomi Amerika dibanding dunia turun cukup drastis sehingga kekayaan riil (emas) Amerika nggak cukup lagi buat menjamin nilai uang mereka. Akhirnya patokan riil uang terhadap emas dihapus oleh Amerika dan semua nilai mata uang dibiarkan “mengambang” tanpa benda nyata yang terjamin bisa ditukarkan. Tapi tanpa patokan tersebut pun, uang kita masih berfungsi sebagai uang karena sifat yang diperlukan adalah sebagai alat penyimpan nilai, alias uangnya sendiri gapapa kalau nggak bernilai. Nilai emas dan perak sendiri sekarang “mengambang” mengikuti penawaran dan permintaan pasar.

****

Nah, sekarang lo coba kilas balik deh artikel ini, dari yang tadinya kita cuma mau ngejawab pertanyaan sesederhana “kenapa emas/perak dihargai lebih mahal daripada senyawa padat kimia lain?” itu ternyata perlu pemahaman dari berbagai disiplin ilmu yang terintegrasi dari mulai ekonomi, sejarah, sampai kimia. Mungkin sebelumnya lo gak nyangka kalo rasa penasaran terhadap duit, bisa diceritain panjang lebar dari segala sudut pandang ilmu pengetahuan. Jadi satu hal yang perlu lo inget, kalo lo penasaran terhadap suatu hal, jangan ragu untuk memenuhin dahaga lo dengan langsung obok-obok Google, baca buku, atau tanya sama orang yang lo nilai berkompeten. Ketika lo terbiasa untuk curious, lo akan nabung pengetahuan dari waktu ke waktu. Dengan waktu yang mumpuni, lo akan punya tabungan wawasan yang terintegrasi ke segala ilmu. Modal yang oke banget, gak hanya di bidang akademis, tapi di kehidupan sehari-hari lo. Okay, sekian dulu cerita gue soal emas, perak dan perannya sebagai uang sepanjang sejarah.

by: Ivan Waskita

Pentingnya Berpikir Kritis

“It is the mark of an educated mind to be able to entertain a thought without accepting it.”
-Aristotle-

Hai zenius fellow! Kali ini gw mau ngebahas tentang critical thinking! Ada paragraf lucu deh. Gue dapet dari internet, Lisa Shea (http://www.lisashea.com/hobbies/art/general.html). Di situ, dia lagi ngebahas tentang Da Vinci Code.

“I’m really happy the book has gotten people to think – but it concerns me that people then come to me and say “OK tell me the truth!” These people are now sure that the church has been lying to them and they want to blindly believe another person? I have a LARGE list of source reference books. Go read them! Exercise your brain! Figure out for YOURSELF what is true and what is not. If all you do is sit back and say “OK I will believe someone else now”, then you’ve missed a main point of my website. The point is that people are free when they learn for themselves what to believe.”

Iya. Lucu! Tapi, jangan-jangan kita adalah salah satu orang yang kayak gitu. Setelah denger (atau baca) sesuatu, yakin kalo ada yang salah terus kita malah percaya buta sama orang lain. Hihihi… kayaknya lucu sih. Tapi, sebenarnya ini mengkhawatirkan. Di era informasi ini, kita harus bisa kritis, Bung!

Kalo nggak kritis, gampang banget ditipu sama berbagai macam teori konspirasi, hoax, dan macem-macem lainnya. Jangankan kalo lo nggak kritis. Lo kritis aja, masih bisa ketipu.

Fenomena Air HADO

Gue pernah baca sebuah buku tentang Air HADO. Yang ngarang namanya Emoto. Melihat keterangan tentang pengarangnya, Emoto ini tidak memiliki latar belakang sains. Tapi, berhubung dia mengambil liberal art (yang diterjemahkan secara tidak tepat sebagai “seni bebas”), gue pikir dia tidak akan menulis sesuatu hal secara sembarangan.

Jadi gini. Menurut Emoto, air akan mendengarkan perkataan-perkataan manusia. Dia melakukan eksperimen sebagai berikut:

  1. Ambil air suling, letakkan pada botol.
  2. Tuliskan kata2 positif pada botol tersebut. Misalnya, “Love and Thank you”, “Arigato”, dan sebagainya.
  3. Bekukan air tersebut sampai mencapai suhu −25 °C (−13 °F).
  4. Foto hasilnya.

Menurut Emoto, kristal yang terfoto itu hasilnya akan sangat bagus. Begitu juga kalau air itu didengarkan dengan lagu-lagu klasik atau didoakan. Tapi, menurut Emoto juga, air tidak akan menunjukkan kristalnya ketika ia dituliskan kata-kata negatif seperti “bego lu” atau yang lain. Ia juga tidak membentuk kristal jika terkena radiasi gelombang elektromagnet dari televisi, handphone, dsb. Lagu-lagu heavy metal juga akan membuat air ini tidak mengkristal.

Saat gue baca buku itu. Gue belum menemukan kesalahan dari penelitiannya. Berhubung gue percaya sama data-data yang dia berikan, gue cuma bisa bilang, “itu mungkin aja bener. Tapi, belum ada hipotesis yang bisa menjelaskan kenapa itu semua terjadi”. Dua kejadian yang terjadi secara berurutan belum tentu menunjukkan hubungan sebab-akibat. Post hoc non est propter hoc. Jadi, menurut gue, perlu ada general theory yang bisa menjelaskan kejadian-kejadian itu. Didorong oleh rasa ingin tahu gue ini, gue mencoba browsing di internet. Gue pikir, mungkin ada beberapa scientist yang udah ikutan meneliti ini dan menawarkan beberapa hipotesis.

Search di google menuntun gue ke Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Masaru_Emoto) dan JREF(James Randi Education Foundation). Di sana gue menemukan bahwa Emoto tidak melakukan double-blind saat meneliti. Datanya pun salah. Double-blind adalah salah satu metode untuk mereduksi bias saat observasi. Tanpa double-blind, seorang observer cenderung hanya mengambil data yang sesuai dengan hipotesisnya atau kepercayaannya. Terlebih, JREF menantang Emoto satu juta dollar jika bisa membuktikan hipotesisnya itu dengan menggunakan double-blind. Ternyata dia belum berhasil. Sebelumnya, gue pernah denger sih tentang JREF ini dari seorang teman. JREF ini emang berjanji memberikan $1.000.000 kepada siapapun yang bisa menjelaskan kejadian-kejadian supranatural ke ranah sains. Belum ada yang berhasil tuh. Ada yang merasa tertantang? :D

Di era informasi seperti sekarang ini, kita mudah mengakses berbagai informasi. Tapi, sayangnya, banyak banget yang ngawur. Ada yang tidak disengaja karena terlalu cepat melompat ke kesimpulan tertentu tanpa menggunakan metode penelitian yang benar banyak juga yang disengaja karena keuntungan yang bisa didapat dari penyebaran informasi itu. Misalnya uang atau di era demokrasi ini, suara politik untuk menjatuhkan lawan, dan sebagainya. Kalau nggak kritis. Kita bisa tertipu.

Lihat aja Da Vinci Code. Teori-teorinya mungkin ada yang bener. Tapi, tentu saja itu masih berlatar belakang hipotesis yang belum terbukti secara ilmiah.

Salam kritis!

by: Wisnu O. P. S.

“I’m built with it”

Oh leave the Wise our measures to collate.
One thing at least is certain, light has weight.
One thing is certain and the rest debate.
Light rays, when near the Sun, do not go straight.
-Sir Arthur Eddington-

Suasana aula Cambridge sepi dan tegang, orang-orang berkumpul menunggu hasil penelitian yang menentukan bukan saja untuk sains, tapi untuk harga diri bangsa (untuk beberapa orang). Sir Eddington melangkah pasti membawa 2 plate fotografi pemotretan gugus bintang Hyades. Satu diambil di Inggris dan satu lagi diambil di Pulau Principe, lepas pantai barat Afrika, kala gerhana matahari total.

Today we will become the witness of scientific breakthrough gentleman, please be seated.

Semua orang memilih tempat duduknya dan beberapa menghentikan pembicaraan mereka dengan kolega di belakang tempat duduknya. Semua mata memandang Sir Eddington memasang dua plate yang akan menentukan nasib ilmuwan pencetus gravitasi hampir 300 tahun yang lalu, yang merupakan pujaan bangsa Inggris, Sir Isaac Newton. Hari ini mereka akan menyaksikan, apakah teori yang bertahan selama 300 tahun itu akan tetap bertahan atau gugur oleh perhitungan ilmuwan tak terkenal, anti sosial, bahkan lahir di negara musuh mereka saat itu, Jerman. Ilmuwan itu bernama Albert Einstein.

Dua plate yang diambil dari dua lokasi berjauhan dan pada kondisi yang sama tersebut disatukan. Apabila Newton benar, maka foto bintang di dua lokasi tersebut akan sama. Dan sebaliknya jika Einstein dengan perhitungan di khayalannya (Der Gedankexperiment), maka cahaya bintang di Afrika Selatan, yang mengalami gerhana matahari, akan dibelokkan. Dan terdapat gap, antara dua titik di foto.

Light bended by gravity??? What kind of nonsense this German scientist proposed?” sebagian ilmuwan Inggris bergumam menunggu Eddington selesai memasang 2 plate itu.

Eddington melihat 2 plate yang disatukan. Ia memfokuskan lensa objektif untuk melihat gugus Hyades di samping prominence matahari di kala gerhana. Ia ragu sejenak. Teringat ia akan tulisan di jurnal hariannya di Pulau Principe tertanggal 29 Mei 1919:

The rain stopped about noon and about 1.30… we began to get a glimpse of the sun. We had to carry out our photographs in faith. I did not see the eclipse, being too busy changing plates, except for one glance to make sure that it had begun and another half-way through to see how much cloud there was. We took sixteen photographs. They are all good of the sun, showing a very remarkable prominence; but the cloud has interfered with the star images. The last few photographs show a few images which I hope will give us what we need…

Sambil membetulkan kacamatanya, sekali lagi ia lihat lebih teliti. Ia angkat kepalanya dan berkata:

A gap! Einstein!!!

Suasana Aula berusia lebih dari 500 tahun itu senyap. Beberapa menganggukkan kepala, beberapa menatap heran, beberapa berdiri, menghentak dan bergegas ke luar ruangan. Seorang Englishman, Eddington, membuktikan teori ilmuwan musuh negaranya yakni seorang Jerman, Einstein, untuk mengkoreksi ilmuwan besar negaranya sendiri, Newton.

Banyak orang mengira sains adalah bidang arogan yang hanya berisi orang-orang di menara gading. Sering kali saya bertemu orang yang melihat sains sebagai sesuatu yang berat.

Well I can’t blame them all. Sering juga saya bertemu orang yang mengaku saintis tapi tidak menggunakan logika mereka untuk berpikir. Saintis atau ilmuwan bukanlah mahasiswa yang lulus dari MIPA saja. Saintis bisa orang-orang dari tiap profesi asalkan mereka menggunakan metode sains untuk berpikir mereka. Liat dulu permasalahan, ajukan pertanyaan, buat percobaan atau cari data mengenai jawaban pertanyaan dan tarik kesimpulan. Eddington membuktikan ia merupakan saintis sejati dengan tidak bias. Baik bias dalam hal nasionalime sempit, atau bias mengakui hasil karya Einstein sebagai karyanya sendiri.

Sulit memang memisahkan ego manusia dan idealisme saintifik. Saya teringat suatu kata-kata yang saya lupa kapan dan di mana membacanya.

Pertama

Dokter itu boleh bohong tapi tidak boleh salah
karena kalau pasien mau meninggal besok, dokternya biasanya akan menenangkan. Tapi dokter hampir tidak boleh salah mendiagnosis.

Kedua

Ilmuwan itu boleh salah, tapi tidak boleh bohong.”
Hasil data penelitian boleh saja tidak sesuai teori di buku. Tapi tampilkan apa adanya dan jangan diubah. Salah data, kurvanya gak bagus atau datanya ngacak? Gak ada tuh, justru kesalahan sering membuka penemuan baru.

Ketiga

Politikus itu boleh salah boleh bohong!!
No offense to politician, but reality bites sometimes.”

Kembali ke Eddington, Einstein dan Newton. Apakah setelah dibuktikan dengan percobaan, teori gravitasi Newton menjadi tak berguna? Bisa iya, bisa tidak. Pada kondisi normal (consider yourselves about what is a normal condition) teori Newton berlaku, tapi pada kondisi ekstrem, relativitas Einstein merajai. Einstein “hanya” memoles Newton sedikit untuk fenomena yang tak dapat dijelaskan oleh mekanika klasik Newton.  Rangkaian pengetahuan sambung menyambung ini, seperti yang dikatakan Stephen Hawking ketika ditanya mengapa ia sangat jenius oleh wartawan, adalah:

Because I’m standing on the shoulder of giant.”

Karena penelitian ilmuwan sebelum masanya, Hawking bisa merumuskan persamaan gravitasi di dalam black hole dan terus menyempurnakan teori Einstein dengan TOE (Theory Of Everything) yang masih dikerjakannya.

Setelah pembuktian teori relativitas umum oleh Eddington, Einstein menjadi terkenal di seluruh dunia. Jerman yang baru saja kalah perang dunia pertama, seolah mendapat kebanggan sendiri di tengah kedukaan dan inflasi yang menghebat.

Eddington sendiri? Seperti juga penarik layar untuk pertunjukan, ia tenggelam dalam nama besar Albert Einstein. Mengapa ia rela membuktikan teori orang lain dan menekan bias pendapatnya sendiri? Ilmuwan yang baik selalu mencari kebenaran pada data eksperimen. Ketika science board Cambridge menanyakan maksud Eddington untuk membuktikan teori seorang Jerman, ia diragukan kesetiaanya pada Inggris Raya. Ia ditanya apakah ia bisa objektif? Eddington berkata, “With my respect Sir, I’m built with it“.

by: Pras Dianto