Wine/Water Mixing Problem

Ada 2 buah ember, Ember A berisi Anggur dan Ember B berisi Air. Keduanya mempunyai ukuran yang sama. Lalu dengan menggunakan gayung, kita pindahkan segayung Anggur dari Ember A ke Ember B sehingga membuat Ember B berisikan Air yang telah tercampur Anggur. Volume Ember A berkurang segayung sedangkan volume Ember B bertambah segayung. Selanjutnya pindahkan segayung Air yang telah tercampur Anggur dari Ember B ke Ember A. Sekarang Ember A dan B kembali mempunyai volume yang sama. Ember A berisikan Anggur yang telah tercampur Air sedangkan Ember B berisikan Air yang tercampur Anggur.

Mana yang lebih murni, Anggur yang tercampur Air di Ember A atau Air yang tercampur Anggur di Ember B?

Jawaban

Keduanya mempunyai kemurnian yang sama. Kandungan Anggur di Ember A sama besar dengan kandungan Air di Ember B. Kenapa?

Untuk menyederhanakan masalah ini, kita coba mengganti Anggur menjadi Kelereng Merah dan Air sebagai Kelereng Putih dengan jumlah di tiap ember masing-masing 100 buah, sehingga sekarang kita memiliki Ember A yang berisi Kelereng Merah 100 buah dan Ember B yang berisi Kelereng Putih 100 buah. Yang kita lakukan selanjutnya adalah memindahkan sejumlah X buah kelereng dari Ember A ke B dan sebaliknya mengambil acak kelereng yang terdapat pada Ember B (yang sudah tercampur Kelereng Merah) sejumlah X buah dan memindahkannya ke Ember A. Hasilnya jumlah Kelereng Merah di Ember A akan selalu sama dengan jumlah Kelereng Putih di Ember B, yang artinya kadar kemurnian kedua ember adalah sama. Contoh perhitungannya bisa dilihat pada tabel dibawah dengan menggunakan X=25.

NB: Nilai X bisa Anda ubah sesuai keinginan Anda.

Red Marble Container White Marble Container
100 (all red) 100 (all white)

Move 25 (all red) right
75 (all red) 125 (100 white, 25 red)

Move 25 (20 white, 5 red) left
100 (80 red, 20 white) 100 (80 white, 20 red)

[collapse]
Sejarah

Persoalan diatas pertama kali diajukan oleh Walter William Rouse Ball pada tahun 1896 di edisi ketiga bukunya yang berjudul Mathematical “Recreations And Problems Of Past And Present Times”.

[collapse]

Teori Kebutuhan

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu sering berpikir hanya dari satu sisi saja.

Hakim memulai, “Seandainya saja setiap orang mau mematuhi hukum dan etika …”

Nasrudin menukas, “Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan.”

Hakim mencoba bertaktik, “Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan Anda pilih?”

Nasrudin menjawab seketika, “Tentu saya memilih kekayaan.”

Hakim membalas sinis, “Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?”

Nasrudin balik bertanya, “Kalau pilihan Anda sendiri?”

Hakim menjawab tegas, “Tentu saya memilih kebijaksanaan.”

Dan Nasrudin menutup, “Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya.”

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja

Umur Nasrudin

“Berapa umurmu, Nasrudin?”

“Empat puluh tahun,” jawab Nasrudin.

“Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama.”

“Aku konsisten,” jawab Nasrudin.

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja

Belajar Kebijaksanaan

Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat perilakunya.

Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya.

“Mengapa api itu kau tiup?” tanya sang darwis.

“Agar lebih panas dan lebih besar apinya,” jawab Nasrudin.

Setelah api besar, Nasrudin memasak sup. Sup menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkuk. Ia mengambil mangkuknya, kemudian meniup-niup supnya.

“Mengapa sup itu kau tiup?” tanya sang darwis.

“Agar lebih dingin dan enak dimakan,” jawab Nasrudin.

“Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu,” ketus si darwis, “Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu.”

“Ah, konsistensi.”

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja

Tampang Itu Perlu

Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.

“Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,” kata Nasrudin.

“Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah,” kata istrinya.

Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, “Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!” berulang-ulang.

Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak “Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah.”

Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin menjawab “Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah.”

Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, “Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin.”

Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda. Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim.

“Bagaimana pembelaanmu?” tanya hakim pada Nasrudin.

“Tetangga saya ini gila, Tuan,” kata Nasrudin.

“Apa buktinya?” tanya hakim.

“Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya.”

Dengan kaget, sang tetangga berteriak, “Tetapi itu semua memang milikku!”

Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja

Jangan Terlalu Dalam

Telah berulang kali Nasrudin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasrudin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi kita tahu menyogok itu diharamkan. Maka Nasrudin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.

Nasrudin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan kotoran sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasrudin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasrudin.

Nasrudin kemudian bertanya, “Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan?”

Hakim tersenyum lebar. “Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya.” Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. “Wah, enak benar mentega ini!”

“Yah,” jawab Nasrudin, “Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam.” Dan berlalulah Nasrudin.

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja

Nasrudin Pemungut Pajak

Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.

Timur Lenk memerintahkan Nasrudin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nasrudin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil.

Nasrudin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.

“Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Nasrudin?” bentak Timur Lenk.

“Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka,” jawab Nasrudin dengan gaya pejabat.

“Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin?” Timur Lenk lebih marah lagi.

Nasrudin menjawab takzim, “Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini.”

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja

Orientasi Pada Baju

Nasrudin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat.

“Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku,” ujar Nasrudin ringan.

Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya. Sampai rumah, Nasrudin tetap kering.

“Ini semua salahmu!” teriak tuan rumah, “Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!”

“Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju.”

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja

Cara Membaca Buku

Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.

Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasrudin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman, berdiam diri, lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.

“Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!”

“Aku tahu,” jawab Nasrudin acuh, “Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu.”

Sumber: Kumpulan Anekdot Nasrudin Hoja