Always Be Nice

My little brother just asked, “Why are people so nice to the people who are about to die?”

And I told him that we want to make their last few moments on earth happy.

Then he told me, “Everyone dies a little everyday and sometimes we don’t know when a person is going to die, so why isn’t everyone always nice, because we never know what’s going to happen to someone.”

See You Again #1

I don’t know you well enough, I just know you make your brothers to lend me the Spica stick so I can play it too and that’s make you look like a hero for me. I am sorry for not wearing a good clothes on your wedding, I am not very comfortable wearing suit and pantofel.

However, you’ll never read this and I’ll make it sure by using my basic English so you’ll be confuse when you read this (I hope your English is not good). I wrote this not for you to read but for myself, so I can remember you, so you can live in my memory. Please don’t haunt me but if you insist please don’t call me “Bang” like what you did sometimes when you are still alive, I am younger than you so just call me by my name.

Rest in Peace Tiurma Silviana Napitupulu.

Celaan – Tidak Ada Jawaban

Seekor serigala bisa saja menendang roboh sebuah gudang, tetapi diperlukan seorang tukang kayu yang cakap untuk membangunnya.
– NN

Saat menghadapi sejumlah persoalan geografi dan cuaca dalam pembangunan Terusan Panama, Kolonel George Washington Goethals harus menahan celaan dari orang-orang yang suka ikut campur di negaranya yang memprediksikan dengan gampang bahwa dia tidak akan pernah menyelesaikan tugas besarnya tersebut. Namun, tokoh pembangunan yang mempunyai ketetapan hati itu terus maju dengan pekerjaannya dan tidak membalas.

“Tidakkah Anda akan membalas semua celaan tersebut,” seorang bawahan bertanya.

“Pada waktunya,” Goethals menjawab.

“Bagaimana?”

Insinyur besar itu tersenyum. “Dengan terusan ini,” jawabnya.

4 Lilin

Disuatu malam, ada 4 lilin yang menyala. Keempat lilin itu mempunyai ciri yang berbeda satu sama lain. Lilin Pertama mempunyai bentuk yang sangat indah dengan ukiran elegan dan nyala api seperti pelangi. Lilin Kedua tak kalah bagus, dia memancarkan cahaya tak begitu terang tak begitu remang, cahayanya halus sejukkan mata. Lilin Ketiga berwarna merah dan sangat unik bentuknya. Lilin Keempat terang tapi pendek dan sepertinya hampir habis. Malam itu suasana begitu sunyi, sehingga terdengarlah percakapan mereka.

Lilin Pertama berkata, “Aku adalah DAMAI, namun manusia tak mampu menjagaku, maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”

Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam.

Lilin Kedua berkata, “Aku adalah IMAN, sayangnya aku tak berguna lagi, manusia tak mau mengenalku, untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala.”

Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih, giliran Lilin Ketiga berbicara, “Aku adalah CINTA, tak mampu lagi aku untuk tetap menyala, manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna, mereka saling membenci, bahkan saling membunuh demi beberapa hal yang mereka inginkan dan kadang mereka golongkan sebagai HARGA DIRI.”

Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin Ketiga.

Tanpa terduga, seorang anak masuk ke dalam kamar dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan iya berkata, “Apa yang terjadi? Kalian harus tetap menyala. Aku takut akan kegelapan!”

Lalu ia mengangis tersedu-sedu.

Lalu dengan terharu Lilin Keempat berkata, “Jangan takut! Janganlah menangis! Selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya. Akulah HARAPAN.”

Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya.

Penerapan:
Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut yang dalam situasi apapun mampu menghidupkan kembali DAMAI, IMAN dan CINTA dengan HARAPAN.

Lesson In Life

A wise man sat in the audience and cracked a joke. Everybody laughs like crazy. After a moment, he cracked the same joke again. This time less people laughed. He cracked the same joke again and again. When there is no laughter in the crowd, he smiled and said, “You can’t laugh at the same joke again and again, but why do you keep crying over the same thing over and over again?”

George Washington dan Pohon Ceri

Saat masih kecil, George Washington suka menjelajahi kebun ayahnya yang luas. Sambil berjalan-jalan di kebun, George suka sekali menyabit pohon dan semak yang merintangi jalannya. Satu kali George tidak sengaja menyabit pohon ceri kesayangan ayahnya. Dia tidak berani menceritakan kejadian itu pada orang lain.

George tutup mulut selama beberapa hari. Ketika ayahnya tahu pohon cerinya tersabit, ayahnya sangat marah. Dengan garang ayahnya meminta para pelayannya mengaku. Tentu saja tidak ada pelayan yang mengaku karena mereka memang tidak melakukannya. Ayah George pun bertambah marah.

Akhirnya, George memberanikan diri menemui ayahnya sambil membawa tongkat sabitnya. Dia bilang ke ayahnya bahwa dia tidak berani berbohong. George mengaku telah menyabit pohon ceri kesayangan ayahnya. Tanpa diduga, ayah George malah langsung memeluknya. Kata ayah George, kejujuran  George lebih berharga daripada pohon cerinya. Bahkan, kejujuran George jauh lebih berharga daripada pohon ceri berdaun emas sekalipun.

Catatan:

Kebenaran cerita ini masih diragukan. Namun kita dapat mengambil pelajaran dari cerita ini, dimana kita harus menghargai kejujuran seseorang dan kita harus tetap jujur meskipun ada resiko besar yang harus kita tanggung setelahnya.

Untukmu Yang Selalu Kucintai

Saat kau bangun di pagi hari, Aku memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada-Ku, bercerita, meminta pendapat-Ku, mengucapkan sesuatu untuk-Ku walaupun hanya sepatah kata, atau berterima-kasih kepada-Ku atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu tadi malam, kemarin, atau waktu yang lalu. Tetapi Aku melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.

Tak sedikitpun kau menyadari bahwa Aku ada di dekat mu. Aku kembali menanti saat engkau sedang bersiap, Aku tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapa-Ku, tetapi engkau terlalu sibuk.

Di satu tempat, engkau duduk tanpa melakukan apapun. Kemudian Aku melihat engkau menggerakkan kakimu. Aku berpikir engkau akan datang kepada-Ku, tetapi engkau berlari ke telepon dan menelepon seorang teman untuk sekedar berbual-bual.

Aku melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan Aku menanti dengan sabar sepanjang hari. Namun dengan semua kegiatanmu Aku berpikir engkau terlalu sibuk untuk mengucapkan sesuatu kepada-Ku.

Sebelum makan siang Aku melihatmu memandang ke sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepada-Ku, itulah sebabnya mengapa engkau tidak sedikitpun menyapa-Ku. Engkau memandang tiga atau empat meja di sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut nama-Ku dengan lembut sebelum menjamah makanan yang Kuberikan, tetapi engkau tidak melakukannya. Ya, tidak mengapa, masih ada waktu yang tersisa dan Aku masih berharap engkau akan datang kepada-Ku, meskipun saat engkau pulang ke rumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan.

Setelah tugasmu selesai, engkau menghidupkan TV, Aku tidak tahu apakah kau suka menonton TV atau tidak, hanya saja engkau selalu kesana dan menghabiskan banyak waktu setiap hari di depannya tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati siaran yang ditampilkan hingga waktu-waktu untuk-Ku dilupakan.

Kembali Aku menanti dengan sabar saat engkau menikmati makananmu tetapi kembali engkau lupa menyebut nama-Ku, berterima-kasih atas makanan yang telah Kuberikan.

Saat tidur ku pikir kau merasa terlalu lelah. Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu, melompat ke tempat tidurmu dan tertidur tanpa sepatahpun nama-Ku kau sebut. Tidak mengapa karena mungkin engkau masih belum menyadari bahwa Aku selalu hadir untukmu. Aku telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. Aku bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain. Aku sangat menyayangimu, setiap hari Aku menantikan sepatah kata darimu, ungkapan isi hatimu, namun tak kunjung tiba.

Baiklah, engkau bangun kembali dan kembali Aku menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberi-Ku sedikit waktu untuk menyapa-Ku. Tapi yang Kutunggu tak juga kau menyapa-Ku. Lagi, kau masih tidak mempedulikan Aku. Tak ada sepatah kata, tak ada seucap doa, tak ada pula harapan dan keinginan untuk sujud kepada-Ku. Apakah salah-Ku kepadamu? Rezeki yang Kulimpahkan, kesehatan yang Kuberikan, harta yang Kurelakan, makanan yang Kuhidangkan, keselamatan yang Kukurniakan, kebahagiaan yang Kuanugerahkan, apakah hal itu tidak membuatmu ingat kepada-Ku?

Percayalah, Aku selalu mengasihimu, dan Aku tetap berharap suatu saat nanti engkau akan menyapa-Ku, memohon perlidungan-Ku, bersujud menghadap-Ku, dan kembali kepada-Ku yang selalu bersamamu setiap saat.

Tuhanmu.

Sumber: Kemungkinan ditulis oleh Kahlil Gibran.

Mengapa Perlu Ke Gereja

Dalam rubrik Surat Pembaca di sebuah majalah gereja, ada seorang yang mengirimkan surat sebagi berikut:

“Saya sudah pergi ke gereja selama 30 tahun. Selama itu saya telah mendengar ribuan kali khotbah. Tetapi hingga kini saya tidak bisa mengingat satu per satu khotbah yang pernah saya dengar itu. Jadi, rasanya saya telah memboroskan banyak waktu, begitu juga para pendeta itu dengan khotbah-khotbah mereka.”

Surat itu memicu banyak tanggapan dari majalah tersebut. Sampai akhirnya seorang pembaca lain menulis sebagai berikut:

“Saya sudah menikah selama 30 tahun. Selama itu istri saya telah memasakkan ribuan kali untuk saya. Hingga kini saya tidak bisa mengingat satu per satu masakan istri saya. Tetapi saya tahu bahwa masakan-masakan itu telah memberikan tubuh saya kekuatan yang diperlukan untuk hidup sampai sekarang.”

I’m A Trouble Maker

There was a girl who was a great nuisance. When she was eight years old, she was already a great trouble maker in her school. She hadn’t done any homework all the time, and she failed in the exam. She twisted her body in the middle of the class and sometimes she stood up and went around the class. Finally, even though the semester didn’t finish yet, the teacher in charge sent the letter to her parents.

“I recommend her sent to special school or receive psychotherapy because she looks scatterbrained.”

Her parents were really disappointed because they somewhat knew she couldn’t pay enough attention, but they didn’t know her teacher would give her up. Next day, her mother took her over to psychological clinic.

“Just sit still!”

Her mother pushed her awfully and talked with the counselor. Then the counselor talked to the girl, “Too boring, isn’t it? But I should more talk with your mother beside the room. Please, wait one more second.

The counselor spoke while he took the girl’s mother.

“Let’s watch how she behave alone.”

After a while, they were surprised. The girl couldn’t keep still for a while, but then danced beautifully with the music from the psychological clinic. Mesmerized, they just stared at her for a long time. And the counselor spoke to the girl’s mother.

“Your daughter isn’t a trouble maker. She is a born dancer. You should take her to dance academy rather than the special school.”

Her mother felt sorry that she considered her daughter as a great nuisance. And she decided to send her to the dance academy. The girl became happy with a mood different from the school. She practiced dancing from dawn to all day long. Finally, she passed Royal College of Dance, London and then she entered the British Royal Ballet. She became a great ballerina and she succeeded in musical theater troupe after retirement.

This story was about the best ballerina in 20th century and the famous choreographer of “Cats”, and “The Phantom of the Opera”. She is Gillian Lynne. Maybe you frustrated because you are just different from others. We may not be able to find our “hidden talent” like “Gillian Lynne”. So, how about making some times and do whatever we really want to do? Don’t even hesitate to discover your talent. Because “your talent” may not be able to meet the ideal setting yet.

Arthur Ashe – Mengapa Saya?

If I were to say, “God, why me?” about the bad things, then I should have said, “God, why me?” about the good things that happened in my life.
-Arthur Ashe-

Arthur Ashe adalah seorang petenis kulit hitam legendaris asal Amerika. Prestasinya sungguh luar biasa. Tiga gelar Grand Slam, turnamen paling bergengsi tersimpan di lemari kacanya. Gelar itu adalah US Open (1968), Australian Open (1970), dan Wimbledon (1975). Sebuah prestasi yang sulit diraih pada masa itu.

Selesai berkarir di lapangan, dia pun gantung raket. Namun dia bernasib kurang bagus. Pada 1979, ia terkena serangan jantung. Dokter memutuskan ia harus operasi Bypass jantung. Dua kali operasi dijalankan agar Ashe sembuh.

Tapi bukan sembuh yang didapat. Operasi ternyata membawa bencana lain. Dari transfusi darah, dia mendapat virus yang sekarang dikenal dengan nama HIV pada 1983. Pada masa itu, pengawasan terhadap berjangkitnya virus ini memang masih rendah.

Kenyataan pahit ini ia sembunyikan kepada publik. Sampai akhirnya, pada April 1992, koran terkemuka USA Today menurunkan laporannya mengenai kondisi kesehatannya. Sontak publik pun tercengang. Kebanyakan dari mereka menyayangkan tragedi yang menimpa petenis yang rendah hati itu.

Sepucuk surat dari seorang pengagumnya pun sampai ke tangannya. Penggemar itu menyatakan keprihatinannya. Dalam suratnya, sang penggemar bertanya, “Why did God have to select you for such a bad disease?” Pertanyaan yang biasa saja, tapi sungguh dalam, “Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit ini?”

Arthur menjawab, “Begini. Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis, diantaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, 500 ribu orang belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu orang datang ke arena untuk bertanding, 5000 orang mencapai turnamen Grand Slam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon, 4 orang di semifinal, 2 orang di final. Dan ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, ‘Mengapa saya yang menjadi juara?’ Jadi ketika saya dalam kesakitan, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, ‘Mengapa saya?'”

Pada 6 Februari 1993, Ashe mengembuskan napas terakhirnya. Dua bulan sebelum mengembuskan napas terakhirnya, Ashe mendirikan Arthur Ashe Institute for Urban Health. Dan beberapa minggu sebelum ia wafat, Ashe masih menyempatkan diri menulis memoarnya yang berjudul “Days of Grace“.